Siang itu cukup cerah, diluar sana sepertinya matahari giat memanaskan bumi kita yang semakin tipis ozonnya, ah global warming sudah jadi global warning ^_^ Saat-saat seperti ini memang saat yang paling pas buat tidur siang, pantas saja para Mexican menciptakan Siesta (acara istirahat/tidur pada siang hari, atau klik wikipedia aja deh untuk lebih lengkapnya)
Saya sedikit terkejut (kan agak ngantuk) ketika pintu itu terbuka, seorang lelaki masuk dan seakan ada hempasan udara panas ditujukan kearah saya. Saya yakin ini bukan sekedar udara luar yang panas dan bercampur polusi, lelaki itu tampak membawa "api". Saya adalah cowok straigth normal dan saya lebih menyukai Tom Hanks daripada Tom Cruise, tapi harus saya akui bahwa lelaki ini menarik (Uh..oh??) Dia jelas tidak tampan (saya yakin saya lebih tampan) tampangnya tidak indo, kulitnya jelas terbakar matahari, tinggi meski tidak atletis, tapi wajahnya jelas meninggalkan kesan mendalam, campuran antara kesombongan, amarah, dan sekaligus menunjukkan bahwa dia menyimpan sesuatu dibalik ekspresi wajahnya.
"Iced Cappucino, large" dia tersenyum meski itu jelas tampak dipaksakan. "Panas sekali yah diluar" sambut saya mencoba berbasa basi, meski saya sadar pertanyaan saya konyol. Dengan gelas ukuran besar saya sodorkan Cappucino dingin didepannya. Diteguknya langsung setengah isi gelas itu dan disusul dengan hembusan nafas panjang. "Hari yang melelahkan...." sejenak bersandar "saya merasa lelah, fisik maupun mental saya capek"
"Tuntutan pekerjaan yah?" Saya tahu bukan itu jawabannya
"Bukan, nggak sepenuhnya, lebih kepada soal masalah kehidupan aja"
"Pernikahan anda?" tampaknya pria ini belum menikah,tapi asumsi saya kan biasanya pria mendapatkan lebih banyak masalah setelah mereka menikah (dan sebenarnya mereka menikmatinya)
"Ah...bukan" bibirnya sedikit tertarik ke atas "saya belum menikah, saya baru putus dengan calon istri saya, he he penggunaan kata yang kurang tepat ya?" dia tersenyum sambil mencoba bercanda
"Tunangan anda?" tanya saya, "bukan ehm belum..." jawabnya sambil mengangkat alis. "Perbedaan prinsip?"
"Bukan, bukan perbedaan yang memisahkan kami, masalah klasik, orang ketiga"
"ah...." lagi-lagi saya tidak bisa berkomentar
"Sebenarnya mungkin itu cuma sekedar pemicu mungkin juga itu adalah sebuah jalan keluar dalam kebuntuan kami"
Saya cukup paham untuk tidak menyela ucapannya dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh.
"Kami sudah menjalin hubungan selama 10 tahun, dan itu adalah 40% dari hidup saya, sudah terlalu banyak hal yang kami lewati bersama"
"Yah saya juga melewatkan 10 tahun sebelum saya menikahi istri saya dan melewatkan 10 tahun berikutnya sebagai suaminya"
"Anda bercerai?"
Pertanyaan ini selalu muncul, tapi sudah tak sesakit dulu "Tidak, dia mendahului saya ke atas" jawab saya sambil tersenyum
"Ah maaf" dia tampak sedikit salah bersikap, saya membalasnya dengan senyuman
"Saya juga ingin seperti itu, tapi terlalu jauh rasanya"
"Terlalu jauh?"
"Begitulah, dulu saya berjuang untuk mendapatkan cintanya, ketika menjadi kekasihnya saya berusaha mempertahankannya, tapi bagi dia itu belum cukup, saya belum berusaha cukup keras"
"Ehm anda tidak mampu memenuhi ekspektasinya?"
"Yah... saya tidak bisa menjadi laki-laki yang bisa diandalkan, saya tidak bisa memberi kepastian"
"Soal komitmen?"
"Bukan cuma sekedar soal komitmen, tapi juga soal jaminan ekonomi, soal karir saya, soal pilihan hidup saya, banyak hal yang berputar disini" diteguknya lagi gelas cappucino nya
"Saya merasa bahwa saya sudah melakukan banyak hal untuk dirinya, mencoba melampaui batas-batas saya, mencoba berlari lebih cepat dan melompat lebih jauh, tapi saya tetap gagal" segera disambungnya kalimatnya "Mungkin saya belum berlari cukup cepat"
"Entahlah, ini sekedar pendapat, mungkin anda belum berlari cukup cepat atau mungkin juga anda berlari di lintasan yang salah" Kata saya tanpa bersikap menggurui
"Saya tidak tahu, ketika kami berpisah beberapa teman dekat berkata bahwa mungkin saya akan mendapatkan yang lebih baik, tapi saya tidak pernah berharap mendapat yang lebih baik, saya cuma ingin bersamanya"
"Lantas....?"
Dia tersenyum getir "Saya tahu itu tidak mungkin, sudah ada yang lain dihatinya, seorang lelaki yang bisa menjadi pangeran baginya"
"Jadi anda sudah tidak pernah berkomunikasi dengan euh...mantan anda?"
"Masih, sering malah, entah sekedar menemaninya ke toko buku, mendengarkan keluh kesahnya, atau apapun yang saya pikir dapat menggembirakan hatinya"
"Ah... sedikit absurd menurut saya, tapi mungkin itulah cinta"
"Ya, itulah cinta, saya mencintainya dan saya tidak dapat mengalihkan perasaan itu kepada gadis lain"
"Meski anda tidak mungkin bersamanya?"
"Ya, saya bahagia bisa menyayanginya sebagai seorang kakak, menemaninya sebagai seorang sahabat, dan mendukungnya sebagai seorang rival, ya, saya bahagia bila dia bahagia" kalimat berikutnya meluncur dengan nada yang lebih tinggi "tapi saya benci lelaki itu"
Saya tahu yang dia maksudkan pasti kekasih baru dari mantan calon tunangannya
"Saya tahu kalo saya membunuh laki-laki itu, dia pasti akan sangat sedih"
Sesaat angin dingin merambati tengkuk saya, dari matanya saya yakin dia mampu melakukan hal tersebut.
"Ha ha ha saya cuma bercanda, saya tidak akan melakukan hal konyol seperti itu kok"
Saya cuma bisa pura-pura batuk
"Saya rasa saya memutuskan untuk tetap mencintainya dan terus berlari, mungkin kami akan bertemu di persimpangan nasib yang lain" sambil melirik jam ditangannya dihabiskan cappucinonya dalam sekali teguk, mengeluarkan uang dari saku celananya, meletakannya di atas meja "Master, terima kasih atas kopinya" katanya sambil berlalu, bahkan sebelum saya sempat menghitung kembalian untuk lelaki itu.
Ketika saya merapikan kursinya saya menemukan selembar kertas yang tampaknya dirobek secara buru-buru dari organisernya
Saya sedikit terkejut (kan agak ngantuk) ketika pintu itu terbuka, seorang lelaki masuk dan seakan ada hempasan udara panas ditujukan kearah saya. Saya yakin ini bukan sekedar udara luar yang panas dan bercampur polusi, lelaki itu tampak membawa "api". Saya adalah cowok straigth normal dan saya lebih menyukai Tom Hanks daripada Tom Cruise, tapi harus saya akui bahwa lelaki ini menarik (Uh..oh??) Dia jelas tidak tampan (saya yakin saya lebih tampan) tampangnya tidak indo, kulitnya jelas terbakar matahari, tinggi meski tidak atletis, tapi wajahnya jelas meninggalkan kesan mendalam, campuran antara kesombongan, amarah, dan sekaligus menunjukkan bahwa dia menyimpan sesuatu dibalik ekspresi wajahnya.
"Iced Cappucino, large" dia tersenyum meski itu jelas tampak dipaksakan. "Panas sekali yah diluar" sambut saya mencoba berbasa basi, meski saya sadar pertanyaan saya konyol. Dengan gelas ukuran besar saya sodorkan Cappucino dingin didepannya. Diteguknya langsung setengah isi gelas itu dan disusul dengan hembusan nafas panjang. "Hari yang melelahkan...." sejenak bersandar "saya merasa lelah, fisik maupun mental saya capek"
"Tuntutan pekerjaan yah?" Saya tahu bukan itu jawabannya
"Bukan, nggak sepenuhnya, lebih kepada soal masalah kehidupan aja"
"Pernikahan anda?" tampaknya pria ini belum menikah,tapi asumsi saya kan biasanya pria mendapatkan lebih banyak masalah setelah mereka menikah (dan sebenarnya mereka menikmatinya)
"Ah...bukan" bibirnya sedikit tertarik ke atas "saya belum menikah, saya baru putus dengan calon istri saya, he he penggunaan kata yang kurang tepat ya?" dia tersenyum sambil mencoba bercanda
"Tunangan anda?" tanya saya, "bukan ehm belum..." jawabnya sambil mengangkat alis. "Perbedaan prinsip?"
"Bukan, bukan perbedaan yang memisahkan kami, masalah klasik, orang ketiga"
"ah...." lagi-lagi saya tidak bisa berkomentar
"Sebenarnya mungkin itu cuma sekedar pemicu mungkin juga itu adalah sebuah jalan keluar dalam kebuntuan kami"
Saya cukup paham untuk tidak menyela ucapannya dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh.
"Kami sudah menjalin hubungan selama 10 tahun, dan itu adalah 40% dari hidup saya, sudah terlalu banyak hal yang kami lewati bersama"
"Yah saya juga melewatkan 10 tahun sebelum saya menikahi istri saya dan melewatkan 10 tahun berikutnya sebagai suaminya"
"Anda bercerai?"
Pertanyaan ini selalu muncul, tapi sudah tak sesakit dulu "Tidak, dia mendahului saya ke atas" jawab saya sambil tersenyum
"Ah maaf" dia tampak sedikit salah bersikap, saya membalasnya dengan senyuman
"Saya juga ingin seperti itu, tapi terlalu jauh rasanya"
"Terlalu jauh?"
"Begitulah, dulu saya berjuang untuk mendapatkan cintanya, ketika menjadi kekasihnya saya berusaha mempertahankannya, tapi bagi dia itu belum cukup, saya belum berusaha cukup keras"
"Ehm anda tidak mampu memenuhi ekspektasinya?"
"Yah... saya tidak bisa menjadi laki-laki yang bisa diandalkan, saya tidak bisa memberi kepastian"
"Soal komitmen?"
"Bukan cuma sekedar soal komitmen, tapi juga soal jaminan ekonomi, soal karir saya, soal pilihan hidup saya, banyak hal yang berputar disini" diteguknya lagi gelas cappucino nya
"Saya merasa bahwa saya sudah melakukan banyak hal untuk dirinya, mencoba melampaui batas-batas saya, mencoba berlari lebih cepat dan melompat lebih jauh, tapi saya tetap gagal" segera disambungnya kalimatnya "Mungkin saya belum berlari cukup cepat"
"Entahlah, ini sekedar pendapat, mungkin anda belum berlari cukup cepat atau mungkin juga anda berlari di lintasan yang salah" Kata saya tanpa bersikap menggurui
"Saya tidak tahu, ketika kami berpisah beberapa teman dekat berkata bahwa mungkin saya akan mendapatkan yang lebih baik, tapi saya tidak pernah berharap mendapat yang lebih baik, saya cuma ingin bersamanya"
"Lantas....?"
Dia tersenyum getir "Saya tahu itu tidak mungkin, sudah ada yang lain dihatinya, seorang lelaki yang bisa menjadi pangeran baginya"
"Jadi anda sudah tidak pernah berkomunikasi dengan euh...mantan anda?"
"Masih, sering malah, entah sekedar menemaninya ke toko buku, mendengarkan keluh kesahnya, atau apapun yang saya pikir dapat menggembirakan hatinya"
"Ah... sedikit absurd menurut saya, tapi mungkin itulah cinta"
"Ya, itulah cinta, saya mencintainya dan saya tidak dapat mengalihkan perasaan itu kepada gadis lain"
"Meski anda tidak mungkin bersamanya?"
"Ya, saya bahagia bisa menyayanginya sebagai seorang kakak, menemaninya sebagai seorang sahabat, dan mendukungnya sebagai seorang rival, ya, saya bahagia bila dia bahagia" kalimat berikutnya meluncur dengan nada yang lebih tinggi "tapi saya benci lelaki itu"
Saya tahu yang dia maksudkan pasti kekasih baru dari mantan calon tunangannya
"Saya tahu kalo saya membunuh laki-laki itu, dia pasti akan sangat sedih"
Sesaat angin dingin merambati tengkuk saya, dari matanya saya yakin dia mampu melakukan hal tersebut.
"Ha ha ha saya cuma bercanda, saya tidak akan melakukan hal konyol seperti itu kok"
Saya cuma bisa pura-pura batuk
"Saya rasa saya memutuskan untuk tetap mencintainya dan terus berlari, mungkin kami akan bertemu di persimpangan nasib yang lain" sambil melirik jam ditangannya dihabiskan cappucinonya dalam sekali teguk, mengeluarkan uang dari saku celananya, meletakannya di atas meja "Master, terima kasih atas kopinya" katanya sambil berlalu, bahkan sebelum saya sempat menghitung kembalian untuk lelaki itu.
Ketika saya merapikan kursinya saya menemukan selembar kertas yang tampaknya dirobek secara buru-buru dari organisernya
Ada saat dimana semua yang kulakukan cuma sebuah harapan ,
Tapi itulah cinta
Dan aku heran atas apa yang terjadi pada dirimu
Bagaimana bisa kau berikan cintamu pada seseorang
Dan membagi impianmu denganku
Kadang dalam segala yang kau cari
ada sesuatu yang tak kau lihat
Sepertinya sebuah puisi tentang cinta yang tak terjawab, pahit...