Saturday, November 15, 2008

Coretan di selembar kertas (The Other Side)

Siang itu cukup cerah, diluar sana sepertinya matahari giat memanaskan bumi kita yang semakin tipis ozonnya, ah global warming sudah jadi global warning ^_^ Saat-saat seperti ini memang saat yang paling pas buat tidur siang, pantas saja para Mexican menciptakan Siesta (acara istirahat/tidur pada siang hari, atau klik wikipedia aja deh untuk lebih lengkapnya)

Saya sedikit terkejut (kan agak ngantuk) ketika pintu itu terbuka, seorang lelaki masuk dan seakan ada hempasan udara panas ditujukan kearah saya. Saya yakin ini bukan sekedar udara luar yang panas dan bercampur polusi, lelaki itu tampak membawa "api". Saya adalah cowok straigth normal dan saya lebih menyukai Tom Hanks daripada Tom Cruise, tapi harus saya akui bahwa lelaki ini menarik (Uh..oh??) Dia jelas tidak tampan (saya yakin saya lebih tampan) tampangnya tidak indo, kulitnya jelas terbakar matahari, tinggi meski tidak atletis, tapi wajahnya jelas meninggalkan kesan mendalam, campuran antara kesombongan, amarah, dan sekaligus menunjukkan bahwa dia menyimpan sesuatu dibalik ekspresi wajahnya.

"Iced Cappucino, large" dia tersenyum meski itu jelas tampak dipaksakan. "Panas sekali yah diluar" sambut saya mencoba berbasa basi, meski saya sadar pertanyaan saya konyol. Dengan gelas ukuran besar saya sodorkan Cappucino dingin didepannya. Diteguknya langsung setengah isi gelas itu dan disusul dengan hembusan nafas panjang. "Hari yang melelahkan...." sejenak bersandar "saya merasa lelah, fisik maupun mental saya capek"
"Tuntutan pekerjaan yah?" Saya tahu bukan itu jawabannya
"Bukan, nggak sepenuhnya, lebih kepada soal masalah kehidupan aja"
"Pernikahan anda?" tampaknya pria ini belum menikah,tapi asumsi saya kan biasanya pria mendapatkan lebih banyak masalah setelah mereka menikah (dan sebenarnya mereka menikmatinya)
"Ah...bukan" bibirnya sedikit tertarik ke atas "saya belum menikah, saya baru putus dengan calon istri saya, he he penggunaan kata yang kurang tepat ya?" dia tersenyum sambil mencoba bercanda
"Tunangan anda?" tanya saya, "bukan ehm belum..." jawabnya sambil mengangkat alis. "Perbedaan prinsip?"
"Bukan, bukan perbedaan yang memisahkan kami, masalah klasik, orang ketiga"
"ah...." lagi-lagi saya tidak bisa berkomentar
"Sebenarnya mungkin itu cuma sekedar pemicu mungkin juga itu adalah sebuah jalan keluar dalam kebuntuan kami"
Saya cukup paham untuk tidak menyela ucapannya dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh.
"Kami sudah menjalin hubungan selama 10 tahun, dan itu adalah 40% dari hidup saya, sudah terlalu banyak hal yang kami lewati bersama"
"Yah saya juga melewatkan 10 tahun sebelum saya menikahi istri saya dan melewatkan 10 tahun berikutnya sebagai suaminya"
"Anda bercerai?"
Pertanyaan ini selalu muncul, tapi sudah tak sesakit dulu "Tidak, dia mendahului saya ke atas" jawab saya sambil tersenyum
"Ah maaf" dia tampak sedikit salah bersikap, saya membalasnya dengan senyuman
"Saya juga ingin seperti itu, tapi terlalu jauh rasanya"
"Terlalu jauh?"
"Begitulah, dulu saya berjuang untuk mendapatkan cintanya, ketika menjadi kekasihnya saya berusaha mempertahankannya, tapi bagi dia itu belum cukup, saya belum berusaha cukup keras"
"Ehm anda tidak mampu memenuhi ekspektasinya?"
"Yah... saya tidak bisa menjadi laki-laki yang bisa diandalkan, saya tidak bisa memberi kepastian"
"Soal komitmen?"
"Bukan cuma sekedar soal komitmen, tapi juga soal jaminan ekonomi, soal karir saya, soal pilihan hidup saya, banyak hal yang berputar disini" diteguknya lagi gelas cappucino nya
"Saya merasa bahwa saya sudah melakukan banyak hal untuk dirinya, mencoba melampaui batas-batas saya, mencoba berlari lebih cepat dan melompat lebih jauh, tapi saya tetap gagal" segera disambungnya kalimatnya "Mungkin saya belum berlari cukup cepat"
"Entahlah, ini sekedar pendapat, mungkin anda belum berlari cukup cepat atau mungkin juga anda berlari di lintasan yang salah" Kata saya tanpa bersikap menggurui
"Saya tidak tahu, ketika kami berpisah beberapa teman dekat berkata bahwa mungkin saya akan mendapatkan yang lebih baik, tapi saya tidak pernah berharap mendapat yang lebih baik, saya cuma ingin bersamanya"
"Lantas....?"
Dia tersenyum getir "Saya tahu itu tidak mungkin, sudah ada yang lain dihatinya, seorang lelaki yang bisa menjadi pangeran baginya"
"Jadi anda sudah tidak pernah berkomunikasi dengan euh...mantan anda?"
"Masih, sering malah, entah sekedar menemaninya ke toko buku, mendengarkan keluh kesahnya, atau apapun yang saya pikir dapat menggembirakan hatinya"
"Ah... sedikit absurd menurut saya, tapi mungkin itulah cinta"
"Ya, itulah cinta, saya mencintainya dan saya tidak dapat mengalihkan perasaan itu kepada gadis lain"
"Meski anda tidak mungkin bersamanya?"
"Ya, saya bahagia bisa menyayanginya sebagai seorang kakak, menemaninya sebagai seorang sahabat, dan mendukungnya sebagai seorang rival, ya, saya bahagia bila dia bahagia" kalimat berikutnya meluncur dengan nada yang lebih tinggi "tapi saya benci lelaki itu"
Saya tahu yang dia maksudkan pasti kekasih baru dari mantan calon tunangannya
"Saya tahu kalo saya membunuh laki-laki itu, dia pasti akan sangat sedih"
Sesaat angin dingin merambati tengkuk saya, dari matanya saya yakin dia mampu melakukan hal tersebut.
"Ha ha ha saya cuma bercanda, saya tidak akan melakukan hal konyol seperti itu kok"
Saya cuma bisa pura-pura batuk
"Saya rasa saya memutuskan untuk tetap mencintainya dan terus berlari, mungkin kami akan bertemu di persimpangan nasib yang lain" sambil melirik jam ditangannya dihabiskan cappucinonya dalam sekali teguk, mengeluarkan uang dari saku celananya, meletakannya di atas meja "Master, terima kasih atas kopinya" katanya sambil berlalu, bahkan sebelum saya sempat menghitung kembalian untuk lelaki itu.

Ketika saya merapikan kursinya saya menemukan selembar kertas yang tampaknya dirobek secara buru-buru dari organisernya


Ada saat dimana semua yang kulakukan cuma sebuah harapan ,
Tapi itulah cinta

Dan aku heran atas apa yang terjadi pada dirimu

Bagaimana bisa kau berikan cintamu pada seseorang
Dan membagi impianmu denganku

Kadang dalam segala yang kau cari
ada sesuatu yang tak kau lihat

Sepertinya sebuah puisi tentang cinta yang tak terjawab, pahit...

Friday, November 14, 2008

Coretan di selembar tisu

Sore hari, hujan baru berhenti, diluar sana entah ada pelangi atau cuma langit kelabu. Dulu saya suka bau tanah setelah hujan tapi saat ini setelah hujan aroma yang tercium justru makin tidak jelas, padahal katanya ini adalah saat yang tepat bagi seorang pria untuk bersikap melakonlis.

Pintu terbuka, seorang pria masuk, masih muda, penampilannya tipikal pegawai kantoran. "Ehm... Mocha Latte" Sambil mengangguk saya ambil sebuah cangkir, menyiapkan pesanan dan kemudian meletakkannya dihadapannya "Saya bukan penggemar pahit" katanya sambil tersenyum "saya juga bukan penggemar kopi sebenarnya". "Mungkin sepulang dari sini anda akan berubah menjadi seorang penggemar kopi" balas saya sambil tersenyum.

Dituangkannya dua sachet gula, diaduk, ditiupnya cangkirnya dan diteguk sedikit dan kemudian memandang saya "saya tidak yakin bakal jadi penggemar kopi tapi saya suka tempat ini"
"Tidak apa-apa, siapa saja boleh berkunjung kemari meski bukan seorang penggemar kopi. Kadang kopi cuma jadi pelengkap di sela obrolan mereka" jawab saya. Awalnya memang saya ingin menjadikan tempat ini sebagai tempat menikmati kopi yang sebenarnya, pada perkembangannya banyak juga yang menjadikan tempat ini sebagai sarana melepas penat, dan akhirnya saya harus menyerah pada selera pasar.

"Saya suka tempat ini, suasananya nyaman, seakan-akan saya telah meninggalkan semua beban saya diluar sana" katanya sambil melepas jaketnya, melipat dan meletakkannya di pangkuan. "Begitulah, kadang hidup kita yang indah ini bisa terasa sangat melelahkan" Dia tersenyum "Ha...ha...saya pikir master tidak pernah lelah" "Oi...?? Saya kan juga manusia" jawab saya

"Sebenarnya saya juga sedang lelah, ada seseorang yang membuat saya merasa begitu"
"Ehm...pasangan anda?" saya mencoba bertanya, meski biasanya tanpa saya tanya pun mereka akan melanjutkan ceritanya. "Bukan, emmm....bagaimana ya..." dia terdiam untuk beberapa saat "seorang lelaki, mantan pacar dari kekasih saya" Saya cuma bisa mengangguk-angguk sambil mengangkat alis. "Apakah dia mengganggu hubungan anda?"

"Tidak juga, ehm buat saya itu memang mengganggu, tapi...." dia tidak meneruskan kata-katanya, saya juga ikut diam karena saya tahu dia tidak butuh pertanyaan.
"Laki-laki itu adalah seseorang yang sangat istimewa buat kekasih saya, dia nggak cuma sekedar mantan pacar, lelaki itu juga seorang kakak, sahabat, rival, ah entahlah yang pasti dia teramat istimewa di mata kekasih saya" sepertinya sebuah situasi yang cukup kompleks "Tapi dia memilih anda kan?" kata saya, lebih sebagai sebuah pernyataan daripada sebuah pertanyaan.

"Ya, dia memilih saya, bahkan kami sudah membicarakan tentang pertunangan, tapi tetap saja saya merasa terganggu" sahutnya sambil agak bersungut. Dua orang pria masuk, memilih meja disudut, segera saya menghampiri mereka, Esspresso dua, Croissant, satu spaghetti dan onion ring. Sepuluh menit kemudian saya hantarkan pesanan mereka dan saya kembali berdiri di counter, mengelap cangkir dan tatakan sambil tersenyum memandang lelaki itu.

Dia membalas senyuman saya dan melanjutkan ceritanya "Saya benci mengakuinya, tapi lelaki itu memang istimewa, yah meskipun saya sangat membencinya" dia meneguk lagi Latte nya "Dia siap melakukan apapun untuk kekasih saya, dan apa yang saya maksudkan dengan apapun adalah apapun"
"apapun...." kata itu sengaja saya biarkan menggantung. "Ya, apapun, saya tidak tahu mesti bagaimana menggambarkannya, lelaki itu lebih memahami kekasih saya daripada saya sendiri, dia tahu apa yang harus dilakukan ketika kekasih saya marah, ketika kekasih saya tiba-tiba diam, bahkan dia bisa mengetahui apa yang diinginkan oleh kekasih saya tanpa kekasih saya harus berkata apapun"
"Uhm...saya curiga kalau dia seorang cenayang (Tentu saja kalimat ini saya ucapkan dalam hati)"Seharusnya saya adalah sang pangeran buat kekasih saya, tapi lelaki itu adalah ksatria pelindung baginya, say membelikan sebuah apartemen untuk kekasih saya tapi lelaki itu memberikan rumah dengan pintu yang selalu terbuka bagi hatinya, kadang saya merasa bahwa lelaki itu lebih pantas bersama kekasih saya"

"Apakah anda tidak berlebihan? mungkin itu cuma karena anda cemburu? mungkin juga lelaki itu sudah tidak lebih dari sahabat bagi kekasih anda?"

"Itulah yang selama ini selalu coba saya yakini, saya berusaha menjadi yang terbaik buat kekasih saya, tapi saya tetap tidak bisa membuang perasaan itu" terbayang sedikit senyum getir dibibirnya

"It's complicated yah?" komentar yang tidak penting, saya tahu pasti rasanya tidak nyaman.

"Mungkin karena saya bukan penggemar kopi, berat buat saya menghadapi hal-hal pahit seperti ini"

Saya cuma bisa berkomentar datar "Kadang pahit itu nikmat, tapi kalau untuk apa yang anda alami mungkin anda harus lebih membuka komunikasi, dengan lelaki itu, dengan kekasih anda, dan cobalah untuk tidak terlalu melibatkan emosi"

"Yah seperti kopi digelas ini, dibalik pahitnya ada sekecap rasa manis, saya akan coba bicarakan soal ini dengan kekasih saya" Diletakkannya selembar uang yang cukup untuk membayar 2 cangkir kopi, dijabatnya tangan saya "Master, terima kasih atas sore ini" Saya tersenyum sembari masih menggenggam erat jabat tangannya saya berkata "anak muda ingatlah, yang pahit jangan terlalu cepat dimuntahkan, yang manis jangan terlalu cepat ditelan"

Saat saya membereskan gelasnya saya melihat tisu yang dicoret-coret oleh lelaki itu

""Aku benci lelaki itu
karena meski aku adalah pangeranmu
dia adalah ksatria pelindungmu

Aku benci lelaki itu
karena meski kuberikan istana untukmu
dia berikan dunia bagi hatimu

Aku benci lelaki itu
karena meski kau berikan tubuh dan hatimu padaku
kauberikan dia mimpi-mimpimu""


Tampak pahit....

Friday, November 7, 2008

Lelaki kusut sore hari itu

Selamat datang, saya tidak tahu definisi tempat ini, warung jelas bukan disebut cafe pun sebenarnya kurang pas (cuma ada sebuah counter dan 5 kursi), ini adalah sebuah sudut tempat orang-orang datang dan menikmati kopi. Bagaimanapun tempat ini butuh nama, jadi selamat datang di cafe KOPI PAHIT 69.

Biasanya para pengunjung memanggil saya master, tentu saja bukan karena saya seorang kung fu master ataupun coffe master, saya sendirilah yang membiasakan pengunjung saya memanggil begitu. Mungkin karena saya terlalu banyak menonton anime semacam "Get Backers" atau bisa juga karena terpesona figur Falcon si pemilik Cafe Cat's Eye.

Pengunjung tempat ini beraneka ragam, pekerja kantoran, mahasiswa, ibu muda, pengangguran dan aneka pribadi lainnya. Mereka unik bukan semata karena apa yang mereka kenakan, pilihan kopi mereka, latar belakang pendidikan mereka ataupun apa yang mereka bawa, bukan, mereka unik karena mereka semua memiliki kisah yang berbeda.

Seperti juga pengunjung saya sore ini, seorang pemuda, usianya mungkin pertengahan 20, bajunya agak kusut, mungkin bukan tipe yang melewatkan hari kerja di depan monitor atau tumpukan file. Dia duduk di depan counter "Cappucino dingin yang large" katanya "dan tidak usah terlalu banyak krimnya. Sambil menyendok es batu dan memasukkannya ke juicer saya sempat melihat dia mengeluarkan tisu basah, mengelap mukanya yang kusam karena debu dan partikel asap knalpot yang menempel di minyak wajahnya.

"Silahkan, iced cappucino gelas besar" bibirnya bergerak sedikit, tersenyum, wajahnya tak lagi kusam namun ekspresinya masih kusut. Diminumnya sepertiga isi gelas itu kemudian diletakkan kembali sambil diiringi helaan nafas panjang. Masih dengan senyum yang agak dipaksakan dia bercerita tentang seorang wanita.
"Saya yakin master juga pernah muda..."

Tentu saja, karena saya lahir tidak langsung tua batin saya, kemudian dia melanjutkan kalimatnya

"Semalam saya menginap di rumah .....(dia menyebut nama seorang wanita, mirip dengan sebuah merek pengharum ruangan,saya lupa, yang pasti bukan Bayfresh apalagi Baygon)

"...dia bukan kekasih saya, dan kami juga tidak pernah meributkan apa status hubungan kami. Saya mengenal dia sejak beberapa bulan lalu dan hubungan kami menjadi lebih dekat sejak saya bermasalah dengan pasangan saya"

"...hemm" Saya masih mendengarkan, sambil mengelap cangkir dan tatakan yang baru dicuci.

"Ngobrol dengan dia rasanya seperti ngobrol dengan teman lama, akrab, ringan, hangat"

Saya tersenyum sambil melipat lap "Chemistry" gumam saya

"Iya, nyambung, tapi..." kalimatnya terputus, dia mengangkat gelas, meneguknya dan lagi-lagi mengakhirinya dengan helaan nafas panjang.
"entahlah, dia baik, easy going, secara fisik dia juga menarik, tapi..."

"tapi?"

"ehmmm... dia lebih tua dari saya, kami berbeda keyakinan, dan dia juga seorang perokok"

"Tapi bukan itu kan yang menjadi masalah?" kata saya sambil tersenyum

"Yah begitulah, saya menyukainya" tapi buru-buru disambungnya kalimatnya "sebagai teman"
"Saya sangat mencintai kekasih saya, atau lebih tepatnya mantan kekasih saya, memang butuh banyak perjuangan agar bisa bersamanya, tapi saya sangat mencintainya"

Saya tahu dia sungguh-sungguh ketika mengucapkan kalimat tersebut

"Saya merasa untuk mempertahankan hubungan ini saya harus terus berlari, sementara dengan wanita yang baru ini saya bisa santai, tidak ada keharusan, karena hubungan kami tidak memiliki status, tidak ada tuntutan, karena kami bukan siapa-siapa, mungkin cuma sekedar teman yang ditemui diperjalanan"

"Ehm...kadang bahkan meski cuma sekedar berjumpa di jalan bisa saja dia menjadi teman kita sepanjang perjalanan, bisa juga kita menjadi sangat kehilangan ketika kita harus menempuh jalan yang berbeda" kata saya mencoba bijak

"Saya dan dia tahu itu, dia tahu saya masih dan mungkin akan tetap mencintai pasangan saya, dia tahu bahwa saya mungkin tidak akan pernah mencintainya, dia juga tahu..." kalimatnya berhenti sesaat "...bahwa saya cuma menjadikan dia pelarian"

Ganti saya yang menghela nafas panjang

"Semalam kami membicarakan itu semua"

"Bukankah itu menyakitkan?"kata saya

"Yah itu membuat saya merasa tidak nyaman, dan saya tahu dia juga begitu, meski hal itu coba disembunyikan di balik senyumnya"

Saya tersenyum, datar, saya paham apa yang dia rasakan meski saya tidak juga membenarkan ataupun menyalahkannya, empati.

"Saya merasa bersalah terhadap mantan kekasih saya, terutama setelah apa yang saya lakukan" dia memutar-mutar gelas sebelum menghabiskan sisa cappucinonya "saya tidur dengan wanita itu, dan dan mantan saya mengetahuinya, dari saya sendiri" dia menghembuskan nafas kuat-kuat, seakan mencoba meingankan beban di dadanya "Saya menyesal menceritakan hal tersebut pada mantan kekasih saya"

"Tidak perlu menyesal, justru dengan jujur kamu telah menunjukan penyesalan dan permohonan maafmu"

"Mantan kekasih saya menangis, dia bilang dia kecewa"

"Mungkin karena dia masih mencintaimu"

"Kami berpisah karena dia memilih lelaki lain, seharusnya hal ini bukan sesuatu yang akan membuat dia meneteskan air mata"

Ternyata, bahkan setelah hidup ribuan tahun, wanita masih merupakan misteri terbesar bagi seorang pria.

Dihabiskannya sisa es batu yang telah mencair dan bercampur endapan kopi, kemudian bangun dan meletakkan selembar uang "Master terima kasih yah, atas kopi dan telinganya" Tersenyum, membalikkan badan dan melangkah keluar.

Saya membalas senyumannya, membereskan gelas dan mengelap counter.